Kamis, 06 Desember 2012



Tahi Sapi Hangatkan Persahabatan
 
Betapa senangnya aku setelah ujian akhir semester 1 berlalu, tak kulewatkan sedikitpun waktu yang ku punya untuk ku buat berkemas siap pulang ke rumah. Maklum ini adalah pengalaman pertamaku tinggal di asrama yang jauh dari orang tuaku dirumah selama sekitar 6 bulan lebih.

“Yee… Kurang dari 6 jam lagi aku akan tidur di kasurku yang  empuk ” teriak temanku Lia yang benar benar menginginkan untuk segera pulang. Ya, Lia  benar kurang dari 6 jam lagi setelah pelajaran hari terakhir ini berakhir , aku akan segera menyusuri jalan-jalan setapak yang berkelok-kelok untuk menuju rumahku tercinta.

“Pulang kapan? Jam berapa? Sama siapa? Hati-hati ya…” Huuh, kesal banget sama pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Apa sih urusan mereka? Memangnya mereka yang menanyakan hal-hal seperti itu mau ngasih kita duit buat ongkos pulang ?Pikirku dalam hati. Memang sih itu adalah contoh pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan perhatian seseorang kepada kita, tapi kebangetan kan kalo setiap satu menit sekali ada yang bertanya seperti itu. Malahan aku sempat berpikir lebih baik aku membuat sebuah tulisan di kertas yang berukuran super yang bertuliskan “ Aku, pulang hari ini, Jumat, Pukul 16.00, Bersama Orang Tuaku dijemput dari  asrama.” Jadi apabila ada seseorang yang menanyaiku dengan pertanyaan pertanyaan seperti itu, akan ku sodorkan kertas itu padanya. Tapi mana mungkin tega aku pada teman temanku, jadi ya sudahlah untuk membuat hati mereka senang, dengan berat, tapi senang hati aku menjawab semua pertanyaan-pertanyan mereka.

Bedanya kepulanganku ke rumah kali ini aku tidak dijemput ayahku setelah pulang langsung dari sekolah tapi ayahku menjemputku dari asrama. Aku sependapat dengan seluruh teman sekelasku, “Buat apa tetap diadakan pelajaran pada hari hari terakhir masuk sekolah seperti ini?, useless kan? Mendingan kita gunakan untuk packing di dorm untuk persiapan kita pulang ke rumah right?”. Memang sih, pelajaran hari terakhir sangat membosankan apalagi hari Jumat itu diisi pelajaran Sejarah, Matematika, Biologi dan yang terakhir sii monster Chemistry, Oh God.
“Kriing…Kriing…Kriing “  “Yee… Kediri.. I’am coming … ” teriak Amal teman sekelasku kegirangan. Dengan penuh semangat aku mengemasi buku-buku IGCSE tebal yang berserakan di atas mejaku lalu dengan khusyu’ aku berdoa untuk persiapan pulang ke asrama. “Oke, hati-hati di jalan ya Aghna !!! “ aku mengucapkan salam perpisahan pulang pada Aghna karena Ia pulang langsung dari sekolah.

Saat kira-kira 30 menit dalam bus sekolah yang mengantarkan aku dan teman-temanku pulang ke asrama, betapa terkejutnya aku ketika aku mendapati banyak temanku yang gagal pulang langsung dari sekolah, dan satu hal yang membuat aku semakin kesal, TAS RANSEL besar mereka.


Akhirnya aku dapat menghirup udara penuh O2 yang sejuk setelah turun dari bus merah itu. “Assalamu’alaikum…” teriakku masuk ke dalam kamarku. Tak ada seorang pun yang menjawab salam ku. “Kak O’a..Kak Claud? Elle…” Yahh..mereka sudah tertidur lelap. Kemudian aku segera bersiap packing karena kemarin malam aku tertidur. Setelah 1 jam mengemasi barang-banrang, aku bersiap pulang karena ayahku telah menungguiku di lobby asrama. “ Hati-hati ya deek..” kata Mbak Hanif. “ Ok, aku pulang dulu ya kak.. Assalamu’alaikum…” kataku “Wa”alaikum salam…” jawab semua kakak kamarku yang telah terbangun.

“ Assalamu’alaikum.. Ayo yah siapp…” setelah mencium tangan ayahku, segera aku naik sepeda motor Honda supra warna hitam ayahku. Dipikiranku hanya terlukiskan jalan pulang yang indah tanpa kemacetan dan hal lain yang mengganggu. Sialnya separuh jalan pulang tiba-tiba dari arah utara awan hitam tebal yang membawa hujan yang sangat deras mengarah ke jalan raya yang aku dan ayahku lewati. Alhasil, sampai di rumah aku dan ayahku basah kuyup di buatnya. Tapi untungnya ibuku telah menyiapkan air hangat untuk mandi. Dimana mana Ibu memang tahu kebutuhan dan keinginan anaknya termasuk suaminya. Setelah mandi air hangat, Ibu menyarankan agar aku segera beristirahat.


Keesokan harinya aku berpamitan pada Ibu untuk berjalan jalan pagi di  jalan setapak yang menanjak dan berkelok-kelok disebelah utara rumahku. Jalan itu mempunyai kenangan tersendiri bagiku dan sahabat kecilku Nanda, yang rumahnya tidak jauh dari  jalan setapak itu.

Tiba-tiba aku teringat kembali pada memoriku dua belas tahun yang lalu. Tepatnya hari minggu di tahun 2000, setelah aku diantar oleh Ibu untuk bermain di rumah Nanda pagi hari. Waktu itu masih tren sepeda roda dua dengan roda kecil tambahan di sampingnya. “Tya..ayo naik sepeda baruku, ada roda kecilnya lho.. Tapi kamu duduk di belakang ya, soalnya aku aja yang mboncengin kamu..” ajak Nanda padaku yang kemudian membuat aku  tertarik dengan ajakan sahabatku yang amat ku sayangi itu.

Lalu tanpa pikir panjang, aku segera lari menuju atas jalan setapak menikung yang lumayan sepi pada pagi hari dekat rumah Nanda yang telah aku dan Nanda setujui itu.    “ Tya..kamu siap belum?” Tanya Nanda padaku. “Bentar ya Nda.. masih ada sapi yang mau lewat nih” jawabku pada Nanda. Memang, jalan itu cukup strategis untuk dilalui penduduk desaku yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai peternak sapi untuk memandikan sapi-sapi miliknya di sungai di sebelah timur rumah Nanda.

Kemudian setelah peternak itu menggiring sapinya melewati jalan yang akan aku dan Nanda lewati, aku segera naik di atas sepeda baru roda empat milik Nanda itu. Nanda bertanya padaku sekali lagi, “Tya, kamu siap belum?” “Ok, berangkat!!!” teriakku penuh semangat pada Nanda. Segera Nanda mengayuh sepedanya menuruni jalan menanjak berliku dengan sekali kayuh putaran penuh dan “ Prak…Gdebuukkk ”


“Aduuh… Huhuhuhu…” rengekku dan  Nanda yang menangis  kesakitan. Masih dalam keadaan tersungkur di jalan menikung itu aku menyadari betapa bodohnya aku, mengapa dari awal tadi aku tak menanyakan apakah Nanda sahabatku, sudah bisa mengendarai sepeda roda dua atau belum. Kemudian Nanda berkata padaku “Tya, kamu ndak papa?” tanyanya polos padaku. “Huh, Nanda kenapa kamu nggak jujur aja kalo kamu masih ndak bisa naik sepeda?”, “Maaf Tya, aku hanya ingin cepat bisa mengendarai sepeda ini, jadi langsung saja aku membonceng mu.. Maaf ya Tya..” pinta Nanda kepadaku. “ Ya ya, tapi jangan di ulangi lagi ya?’’ Jawabku, “Oo.., jadi kamu mau aku boncengin lagi?” seru Nanda.

Sambil berdiri menaikkan sepeda Nanda yang jatuh dan membersihkan bajuku tiba-tiba “Nda, kamu bau sesuatu ndak?” tanyaku, “Ya baunya ndak enak kan? Uweeek” “Coba kamu berdiri Nda” pintaku pada Nanda, dan yak benar sekali, tepat persis seperti apa yang aku duga sebelumnya “T.T.Tahii Sappiii” teriakku dan Nanda yang hampir bersamaan. Kami langsung kaget dan tak dapat berkata apa-apa. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu, inginnya aku membersihkan tahi sapi yang melekat pada rok mungilku dan sebagian dari sepeda Nanda yang terjatuh itu. Segera aku membersihkan semua tahi yang bau itu dengan kedua tangan ku, alhasil tidak malah membaik tapi kedua tanganku yang penuh dengan tahi sapi yang busuk itu. Nanda pun juga begitu, Dia terkena tahi sapi lebih parah dari pada aku karena Ia berada di posisi yang paling depan.

“Nanda… gimana nih? Kamu yang harus tanggung jawab” kataku meminta pertanggung jawaban dari Nanda, karena tidak mungkin aku menyusuri jalan pulang kerumahku dengan baju yang kotor dan bau tahi sapi yang sangat memuakkan itu. “Kalo gitu, kita kerumahku aja, kita mandi di rumahku, tapi jangan bilang pada ibuku ya?” kata Nanda padaku “Ya, ya, yang penting kita ndak bau” gumamku.
Sesampainya dirumah Nanda dengan menuntun sepeda baru roda dua miliknya yang super  bau itu, aku dan Nanda langsung menyusup lewat pintu belakang rumah Nanda yang untungnya pada waktu itu tidak terkunci. “Ayo Tya, lepas bajumu dan kita mandi sama-sama” ajak Nanda padaku. Takut ketahuan Ibu Nanda, aku segera melepas bajuku dan mandi berdua bersamanya.

Akhirnya setelah lebih dari 30 menit di kamar mandi bersama Nanda, Ia mengajakku untuk memakai handuk dan keluar dari kamar mandi, mungkin Ia sudah merasa kedinginan karena udara Malang di pagi hari sangatlah membekukan tubuh. “Terus aku ndak mau pakai bajuku yang tadi Nda…kotor..” kataku pada Nanda. “Pakai punyaku saja! Aku punya dua rok yang warna nya sama, kembar lho! Ayo kita pakai sama-sama yuk “ ajak Nanda menawarkan bajunya padaku. “Aku yang ini ya?” usulku pada Nanda, dan Ia mengizinkanku.

Selama 20 menit aku dan Nanda membersihkan diri, kemudian dilanjutkan dengan mencuci sepeda mini Nanda yang baunya relatif  sangat tidak sedap  karena kena tahi sapi. Setelah semua usai, aku dan nanda menjemur sepeda itu, kemudian kembali masuk dalam rumah Nanda yang sepi, karena Ibu Nanda keluar untuk mendatangi arisan PKK bersama Ibuku juga dan ayahnya yang masih belum pulang dari tugas dinas di luar kota. Aku sangat suka sekali menonton TV dengan Nanda apalagi menonton film kesukaan kami, Film Chibi Maruko Chan yang selalu tayang di RCTI setiap hari Minggu pagi sampai siang.

Pukul 3 sore, aku terbangun dan masih tidak tersadar kalau sebelumnya aku bersama Nanda menonton TV berdua, aku melihat Ia yang tidur pulas di sampingku. “Nda..Bangun bangun….Udah sore aku pulang dulu ya..” pamitku pada Nanda yang masih belum 100% tersadar. Aku memang takut dimarahi Ibu karena terlalu lama bermain di rumah Nanda. Kemudian aku menyabet baju kotorku dan lari keluar rumah meninggalkan Nanda yang belum tersadar sepenuhnya. Setelah kira kira sepuluh langkah aku berlari menjauh dari rumah Nanda, aku tengok kembali rumahnya, dan kulihat ia membalas pamitku yang tadi “Ya, hati hati ya..maaf tadi aku juga ketiduran.. Sampai jumpa besok..” teriak Nanda padaku sambil melambai-lambaikan tangannya.

Sambil berlari pulang melewati jalan menikung setapak yang berkelok-kelok menuju rumahku, aku merasakan inilah indahnya dunia saat dimana aku dan sahabatku mengahbiskan waktu untuk bersama sama seharian lebih, tidak memikirkan PR, tugas, atau ulangan-ulangan.  Namun sayang sekali, kini Nanda telah memutuskan untuk ikut ayahnya yang bertugas di luar kota dan melanjutkan pendidikannya di Kota Blitar, dirumah Neneknya.


Jalan kecil setapak ini memberikan kesan bau tahi sapi memuakkan yang tak mungkin dapat kulupakan bersama sahabat kecilku Nanda. Meskipun kau tak disini lagi, aku yakin dan berharap kau akan kembali dengan kesuksesan yang telah kita peroleh dari hasil jerit payah yang kita lakukan saat ini dan menghabiskan hari bersamaku suatu hari nanti  yang aku tak tahu kapan masa itu tiba. Semua ada di Jalan setapak menikung yang berliku ini.

Rabu, 05 Desember 2012


Pemerintah Masa Kecil


                Hujan deras tak henti-hentinya menggelegarkan suara gunturnya dari langit sana. Seorang anak kecil yang asyik mewarna gambar dari guru TK nya tiba-tiba melonjak kaget. Tya namanya, anak perempuan berumur enam tahun ini senang sekali menggambar dan mewarna, apapun Ia warna, terutama dinding rumahnya yang sengaja dicat putih oleh ayahnya. Ia langsung berlarian menuju pangkuan ayahnya yang sedari tadi menonton TV di ruang tengah, “Ayah… Tya takut, ada suara aneh dari langit yah”, rengek Tya kepada ayahnya. “Iya, gapapa kok Tya, ya udah Tya di sini aja mewarnanya ya?”, usul ayahnya. Akhirnya Tya meneruskan mewarna gambar di pangkuan hangat ayahnya.

              “Tara…singkongnya sudah matang, ayo siapa yang mau??? Masih anget-anget ini…”, dari dapur, seorang ibu muda yang manis nampak membawa semangkuk besar singkong goreng yang memang pas disantap saat turun hujan sore hari. “Tya, Tya!” teriak Tya sambil  mengacung-acungkan tangannya. Ya, Ibu tahu betul apa kesukaan Tya saat hujan turun sore hari, semangkuk singkong goreng bumbu kunir buatan Ibu yang sudah biasa Ia habiskan bersama ayah tercintanya saat berkumpul bersama seperti ini. “Kalo makan, mewarnanya berhenti dulu Tya, nanti kertasnya kena minyak goreng lho”, Ibu mengingatkan. “Iya bu, tinggal mewarna rambutnya aja, habis itu Tya berhenti”, jawab Tya tanpa memalingkan mukanya dari hadapan kertas yang telah berwarna-warni itu.

               “Yee.. selesai” sergah Tya kegirangan di pangkuan ayahnya. “Udah makan dulu singkongnya Tya,  keburu ayah habiskan lho..” kata ayah sambil tersenyum mencoba meraih singkong yang masih panas di atas meja itu. “Habis ini Tya mau ngapain lagi nih? Kan mewarnanya udah selesai?”, Tanya ibu sambil menikmati singkong goreng itu. “Tya nonton Tom and Jerry aja deh bu, udah lama Tya nggak liat Tom sama Jerry kejar-kejaran”, sambil mengambil singkong di atas meja, Tya melanjutkan “Yah, TV nya diganti dong. Jangan berita teus.. bosen yah..”, rengek Tya pada ayahnya yang memegang remot TV. “Ah Tya kalau masih kecil itu seharusnya sudah dibiasakan dengan menonton berita di TV, bagus untuk pengetahuan kamu!”, nasihat ayah yang selalu Tya ingat sampai kapanpun.

               “Memang ayah lagi lihat berita TV apa yah?”, Tanya Tya polos. “Coba lihat deh! Usah keras pemerintah dalam mengefisiensikan anggaran dana untuk memperbaiki infrastruktur . Pemerintah lagi berusaha merenovasi jalan yang rusak Tya..biar masyarakatnya nyaman, nggak ada macet-macet lagi...”tangkas ayah Tya, “oo..jalan yang rusak itu! Jadi yang benerin jalan itu pemerintah ya yah??”, “Yap, seratus untuk Tya..”, “Apa kalau sudah besar nanti Tya mau jadi pemerintah?” lanjut ayah yang melihat putrinya melongo tak tahu apa itu pemerintah sebenarnya. “He’emm deh yah.. Tya mau…”, “Assik, kalau itu mulai sekarang Tya harus jadi anak yang rajin dan pintar. OK?”, dukungan ayah membuat sebuah senyum mengembang di pipi Tya.

                    Sekitar satu jam lamanya Tya tertidur di pangkuan ayahnya. Lalu Ia terbangun oleh suara batuk ayahnya, “Uhhhuk”, suara ayah mengusik tidur nyenyak Tya saat melihat berita di TV tadi. “Beritanya sudah habis yah???”, Tanya Tya sambil menutupi kantuk di mulutnya. “Udah dari tadi Tya… kamu sih ketiduran…”, seru ayah bermaksud mengiming-iming Tya. “Gak papa deh yah, besok Tya bisa liat lagi kok”, jawab Tya pada ayahnya. Kemudian Ia meloncat turun dari pangkuan ayahnya menuju kamar tidurnya yang berada di depan ruang tengah tempatnya menonton TV bersama ayah dan Ibu tadi.


                 Tya setengah berlari menuju kamar tidurnya untuk melanjutkan mimpi indahnya, entah apa. Seperti terkena sandungan batu, Ia tiba-tiba berhenti, kira-kira dua langkah lagi menuju kamar tidurnya yang sayup-sayup karena langit di luar tengah mendung. Kemudian menolehkan wajah dan berkata pada ayah “Yah, Tya nggak mau jadi pemerintah deh! Kan harus benerin jalan terus setiap hari, nanti Tya bau got!, apalagi kalo siang hari, pasti panas, kan Tya nggak mau jadi hitem gara-gara benerin jalan yah… Nggak enak deh pokoknya! Maaf ya yah, sekali lagi Tya nggak  mau. Dada semuanya …”. Sosok kecil Tya sudah memasuki kamar singgahnya, dan  di ruang tengah hanya tinggal Ayah dan Ibu yang hanya bisa saling melempar senyum karena Tya yang masih belum tahu apa itu pemerintah sebenarnya.




Lusi sulistyaningsih.
Kangen singkong buatan Ibu dan pemerintah versi Ayah.
@ Lobby Asrama.