Tahi Sapi Hangatkan Persahabatan
Betapa senangnya aku setelah ujian akhir semester 1
berlalu, tak kulewatkan sedikitpun waktu yang ku punya untuk ku buat berkemas
siap pulang ke rumah. Maklum ini adalah pengalaman pertamaku tinggal di asrama
yang jauh dari orang tuaku dirumah selama sekitar 6 bulan lebih.
“Yee… Kurang dari 6 jam lagi aku akan tidur di kasurku
yang empuk ” teriak temanku Lia yang
benar benar menginginkan untuk segera pulang. Ya, Lia benar kurang dari 6 jam lagi setelah pelajaran
hari terakhir ini berakhir , aku akan segera menyusuri jalan-jalan setapak yang
berkelok-kelok untuk menuju rumahku tercinta.
Bedanya kepulanganku ke rumah kali ini aku tidak
dijemput ayahku setelah pulang langsung dari sekolah tapi ayahku menjemputku
dari asrama. Aku sependapat dengan seluruh teman sekelasku, “Buat apa tetap
diadakan pelajaran pada hari hari terakhir masuk sekolah seperti ini?, useless
kan? Mendingan kita gunakan untuk packing di dorm untuk persiapan kita pulang ke
rumah right?”. Memang sih, pelajaran hari terakhir sangat membosankan apalagi
hari Jumat itu diisi pelajaran Sejarah, Matematika, Biologi dan yang terakhir
sii monster Chemistry, Oh God.
“Kriing…Kriing…Kriing “ “Yee… Kediri.. I’am coming … ” teriak Amal
teman sekelasku kegirangan. Dengan penuh semangat aku mengemasi buku-buku IGCSE
tebal yang berserakan di atas mejaku lalu dengan khusyu’ aku berdoa untuk
persiapan pulang ke asrama. “Oke, hati-hati di jalan ya Aghna !!! “ aku
mengucapkan salam perpisahan pulang pada Aghna karena Ia pulang langsung dari
sekolah.
Saat kira-kira 30 menit dalam bus sekolah yang
mengantarkan aku dan teman-temanku pulang ke asrama, betapa terkejutnya aku
ketika aku mendapati banyak temanku yang gagal pulang langsung dari sekolah,
dan satu hal yang membuat aku semakin kesal, TAS RANSEL besar mereka.
Akhirnya aku dapat menghirup udara penuh O2 yang sejuk setelah turun dari bus merah itu.
“Assalamu’alaikum…” teriakku masuk ke dalam kamarku. Tak ada seorang pun yang
menjawab salam ku. “Kak O’a..Kak Claud? Elle…” Yahh..mereka sudah tertidur
lelap. Kemudian aku segera bersiap packing karena kemarin malam aku tertidur.
Setelah 1 jam mengemasi barang-banrang, aku bersiap pulang karena ayahku telah
menungguiku di lobby asrama. “ Hati-hati ya deek..” kata Mbak Hanif. “ Ok, aku
pulang dulu ya kak.. Assalamu’alaikum…” kataku “Wa”alaikum salam…” jawab semua
kakak kamarku yang telah terbangun.
“ Assalamu’alaikum.. Ayo yah siapp…” setelah mencium
tangan ayahku, segera aku naik sepeda motor Honda supra warna hitam ayahku. Dipikiranku
hanya terlukiskan jalan pulang yang indah tanpa kemacetan dan hal lain yang
mengganggu. Sialnya separuh jalan pulang tiba-tiba dari arah utara awan hitam
tebal yang membawa hujan yang sangat deras mengarah ke jalan raya yang aku dan
ayahku lewati. Alhasil, sampai di rumah aku dan ayahku basah kuyup di buatnya.
Tapi untungnya ibuku telah menyiapkan air hangat untuk mandi. Dimana mana Ibu
memang tahu kebutuhan dan keinginan anaknya termasuk suaminya. Setelah mandi
air hangat, Ibu menyarankan agar aku segera beristirahat.
Keesokan harinya aku berpamitan pada Ibu untuk
berjalan jalan pagi di jalan setapak
yang menanjak dan berkelok-kelok disebelah utara rumahku. Jalan itu mempunyai
kenangan tersendiri bagiku dan sahabat kecilku Nanda, yang rumahnya tidak jauh
dari jalan setapak itu.
Tiba-tiba aku teringat kembali pada memoriku dua belas
tahun yang lalu. Tepatnya hari minggu di tahun 2000, setelah aku diantar oleh
Ibu untuk bermain di rumah Nanda pagi hari. Waktu itu masih tren sepeda roda
dua dengan roda kecil tambahan di sampingnya. “Tya..ayo naik sepeda baruku, ada
roda kecilnya lho.. Tapi kamu duduk di belakang ya, soalnya aku aja yang
mboncengin kamu..” ajak Nanda padaku yang kemudian membuat aku tertarik dengan ajakan sahabatku yang amat ku
sayangi itu.
Lalu tanpa pikir panjang, aku segera lari menuju atas
jalan setapak menikung yang lumayan sepi pada pagi hari dekat rumah Nanda yang
telah aku dan Nanda setujui itu. “ Tya..kamu siap belum?” Tanya Nanda padaku.
“Bentar ya Nda.. masih ada sapi yang mau lewat nih” jawabku pada Nanda. Memang,
jalan itu cukup strategis untuk dilalui penduduk desaku yang sebagian besar
bermata pencaharian sebagai peternak sapi untuk memandikan sapi-sapi miliknya
di sungai di sebelah timur rumah Nanda.
Kemudian setelah peternak itu menggiring sapinya
melewati jalan yang akan aku dan Nanda lewati, aku segera naik di atas sepeda
baru roda empat milik Nanda itu. Nanda bertanya padaku sekali lagi, “Tya, kamu
siap belum?” “Ok, berangkat!!!” teriakku penuh semangat pada Nanda. Segera
Nanda mengayuh sepedanya menuruni jalan menanjak berliku dengan sekali kayuh
putaran penuh dan “ Prak…Gdebuukkk ”
“Aduuh… Huhuhuhu…” rengekku dan Nanda yang menangis kesakitan. Masih dalam keadaan tersungkur di
jalan menikung itu aku menyadari betapa bodohnya aku, mengapa dari awal tadi
aku tak menanyakan apakah Nanda sahabatku, sudah bisa mengendarai sepeda roda
dua atau belum. Kemudian Nanda berkata padaku “Tya, kamu ndak papa?” tanyanya
polos padaku. “Huh, Nanda kenapa kamu nggak jujur aja kalo kamu masih ndak bisa
naik sepeda?”, “Maaf Tya, aku hanya ingin cepat bisa mengendarai sepeda ini,
jadi langsung saja aku membonceng mu.. Maaf ya Tya..” pinta Nanda kepadaku. “
Ya ya, tapi jangan di ulangi lagi ya?’’ Jawabku, “Oo.., jadi kamu mau aku
boncengin lagi?” seru Nanda.
Sambil berdiri menaikkan sepeda Nanda yang jatuh dan
membersihkan bajuku tiba-tiba “Nda, kamu bau sesuatu ndak?” tanyaku, “Ya baunya
ndak enak kan? Uweeek” “Coba kamu berdiri Nda” pintaku pada Nanda, dan yak
benar sekali, tepat persis seperti apa yang aku duga sebelumnya “T.T.Tahii
Sappiii” teriakku dan Nanda yang hampir bersamaan. Kami langsung kaget dan tak
dapat berkata apa-apa. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu, inginnya
aku membersihkan tahi sapi yang melekat pada rok mungilku dan sebagian dari
sepeda Nanda yang terjatuh itu. Segera aku membersihkan semua tahi yang bau itu
dengan kedua tangan ku, alhasil tidak malah membaik tapi kedua tanganku yang
penuh dengan tahi sapi yang busuk itu. Nanda pun juga begitu, Dia terkena tahi sapi
lebih parah dari pada aku karena Ia berada di posisi yang paling depan.
“Nanda… gimana nih? Kamu yang harus tanggung jawab”
kataku meminta pertanggung jawaban dari Nanda, karena tidak mungkin aku
menyusuri jalan pulang kerumahku dengan baju yang kotor dan bau tahi sapi yang sangat
memuakkan itu. “Kalo gitu, kita kerumahku aja, kita mandi di rumahku, tapi
jangan bilang pada ibuku ya?” kata Nanda padaku “Ya, ya, yang penting kita ndak
bau” gumamku.
Sesampainya dirumah Nanda dengan menuntun sepeda baru
roda dua miliknya yang super bau itu,
aku dan Nanda langsung menyusup lewat pintu belakang rumah Nanda yang untungnya
pada waktu itu tidak terkunci. “Ayo Tya, lepas bajumu dan kita mandi sama-sama”
ajak Nanda padaku. Takut ketahuan Ibu Nanda, aku segera melepas bajuku dan
mandi berdua bersamanya.
Akhirnya setelah lebih dari 30 menit di kamar mandi
bersama Nanda, Ia mengajakku untuk memakai handuk dan keluar dari kamar mandi,
mungkin Ia sudah merasa kedinginan karena udara Malang di pagi hari sangatlah
membekukan tubuh. “Terus aku ndak mau pakai bajuku yang tadi Nda…kotor..”
kataku pada Nanda. “Pakai punyaku saja! Aku punya dua rok yang warna nya sama,
kembar lho! Ayo kita pakai sama-sama yuk “ ajak Nanda menawarkan bajunya
padaku. “Aku yang ini ya?” usulku pada Nanda, dan Ia mengizinkanku.
Selama 20 menit aku dan Nanda membersihkan diri,
kemudian dilanjutkan dengan mencuci sepeda mini Nanda yang baunya relatif sangat tidak sedap karena kena tahi sapi. Setelah semua usai, aku
dan nanda menjemur sepeda itu, kemudian kembali masuk dalam rumah Nanda yang
sepi, karena Ibu Nanda keluar untuk mendatangi arisan PKK bersama Ibuku juga
dan ayahnya yang masih belum pulang dari tugas dinas di luar kota. Aku sangat
suka sekali menonton TV dengan Nanda apalagi menonton film kesukaan kami, Film Chibi
Maruko Chan yang selalu tayang di RCTI setiap hari Minggu pagi sampai siang.
Pukul 3 sore, aku terbangun dan masih tidak tersadar
kalau sebelumnya aku bersama Nanda menonton TV berdua, aku melihat Ia yang
tidur pulas di sampingku. “Nda..Bangun bangun….Udah sore aku pulang dulu ya..”
pamitku pada Nanda yang masih belum 100% tersadar. Aku memang takut dimarahi
Ibu karena terlalu lama bermain di rumah Nanda. Kemudian aku menyabet baju
kotorku dan lari keluar rumah meninggalkan Nanda yang belum tersadar
sepenuhnya. Setelah kira kira sepuluh langkah aku berlari menjauh dari rumah
Nanda, aku tengok kembali rumahnya, dan kulihat ia membalas pamitku yang tadi
“Ya, hati hati ya..maaf tadi aku juga ketiduran.. Sampai jumpa besok..” teriak
Nanda padaku sambil melambai-lambaikan tangannya.
Sambil berlari pulang melewati jalan menikung setapak
yang berkelok-kelok menuju rumahku, aku merasakan inilah indahnya dunia saat
dimana aku dan sahabatku mengahbiskan waktu untuk bersama sama seharian lebih,
tidak memikirkan PR, tugas, atau ulangan-ulangan. Namun sayang sekali, kini Nanda telah
memutuskan untuk ikut ayahnya yang bertugas di luar kota dan melanjutkan pendidikannya
di Kota Blitar, dirumah Neneknya.
Jalan kecil setapak ini memberikan kesan bau tahi sapi
memuakkan yang tak mungkin dapat kulupakan bersama sahabat kecilku Nanda. Meskipun
kau tak disini lagi, aku yakin dan berharap kau akan kembali dengan kesuksesan
yang telah kita peroleh dari hasil jerit payah yang kita lakukan saat ini dan
menghabiskan hari bersamaku suatu hari nanti
yang aku tak tahu kapan masa itu tiba. Semua ada di Jalan setapak
menikung yang berliku ini.